Kamis, 26 November 2009

Untung Ada Yudhi



Ini bukuku ke23

buku komediku ke3 (harusnya ke4 ding)


begitu ngeliat covernya saya langsung wakakakak sendiri...
dulu buku ini dijudulkan oleh penerbitnya Bentang : 'BUDIO NO, BUDI ANDUK YES'. dan direncanakan akan terbit sebelum pemilu. tapi ternyata gak ngejer waktunya. makanya terus buku ini mengendap lamaaaaaa juga. baru kemudian dapet ide kayak gini! hehehe sebagai pengagum budi anduk saya merasa tersanjung, wekekek...


*****


Kambing Betina


Sebelumnya perlu saya klarifikasi kalau cerita ini sumpah mateng, bukannya mau mengikuti kesuksesan kambing jantan. Ini jelas berbeda. Karena ini merupakan cerita yang bener-bener tentang kambing!
Saya menuliskan cerita ini karena belakangan ini saya sering makan sate kambing. Minimal seminggu 2 kali, atau kalau lagi sadar keresterol, yaaa, seminggu sekali saja.
Sekarang ini saya punya tempat langganan sate yang asik punya. Kalau saya kesana, saya cukup datang saja, gak perlu mesen seperti biasanya ; “Satenya satu porsi, Mas, 10 tusuk. Gak perlu pakai ati, pilihin gajihnya yang banyak, entar kecapnya juga yang banyak ya, gak usah pake tomat sama bawang, tapi kolnya dibanyakin dan ditaruh dipinggir piring aja, jangan dicampur sama satenya, bakarannya yang mateng ya, Mas, trus nasinya satu setengah yang anget! Minumnya es teh, tapi kalau bisa yang mereknya yang Cap Gardu, karena wangi sama rasanya wuenak tenan… ”
Yap, saya gak perlu sampai ngomong sepanjang itu. Tinggal masuk, duduk di kursi, dan langsung deh dibuatin.
Sip banget, pelanggan sejati ceritanya. Kalau dalam istilah Solo : Wis Lengganan, hehe!
Akhir-akhir ini memang kambing lagi banyak disuka. Itu mungkin karena sudah dibuat lagunya oleh grup musik Bruket, yang lagi naik daun. Inget kan lagunya?

hanya kambing yang bisa
membuuuuat aku jadi tergila-gila
membuuuuat aku jatuh ciiiinta
karena tak ada yang lain selainmu…

Setiap makan sate kambing saya sering mengkilas betapa menderitanya saya dulu karena jaraaaang banget makan sate kambing. Saya pol makannya ayam… lho ayam kan mahal? Bentar dulu, ayamnya ayam tiren, hikz…
Hehe, lebaiiii!
Maka itulah karena sekarang sering makan sate kambing, saya bisa nandain sate yang enak dan sate yang enak banget (sate kambing memang cuma punya 2 rasa). Dan kesimpulan saya : sate yang enak itu bukanlah sate yang dibuat dari kambing yang masih muda, tapi kambing yang betina. Ini mitos yang bener…. bener-bener jayus maksudnya.
Tapi walau jayus analisanya masuk akal kog. Gini : konon keringat kambing betina lebih sedikit dari kambing jantan. Makanya daginya gak apek. Lebih terasa… harum malah, hehe… rexona banget!
Cerita soal kambing saya punya pengalaman seru bareng Ibun dan Tono.
Dua anak ini dulunya walau culun, tapi memang kemaki luar bisa, hehe. Gak beda jauh dari saya, hehe. Sekedar deskripsi bagi mereka : Tono itu temen satu angkatan saya di arsitek, orangnya kurus, tinggi, dan kalau ngentut selalu ngaku. Sedang kalau Ibun, dia adalah temennya satu kost Tono. Anaknya pendiem, baik dan kalau ngentut pasti nuduh Tono, hehe…


*****

Senin, 07 September 2009

Pandaya Sriwijaya


Pemilihan Pandaya Sriwijaya seharusnya telah usai. Namun, kehadiran seorang gadis bercadar dengan rajah kupu-kupu di pipinya membuat keputusan Dapunta Cahyadawasuna berubah. Gadis itu tak kalah hebatnya dengan pandaya terpilih, seorang pemuda dengan tiga pedang. Pertempuran keduanya, dengan jurus-jurus kejutan yang begitu dahsyat, seakan tak akan pernah berakhir. Berbeda dari tradisi sebelumnya, Sriwijaya kini memiliki dua pandaya. Sriwijaya, di tengah ancaman kerajaan tetangga dan kedatuan-kedatuan yang tengah berkhianat, masih menggenggam ambisi menguasai Bhumi Jawa. Dibutuhkan pendekar-pendekar kuat nan digdaya untuk mencapainya, selain juga armada-armada yang tangguh. Namun, upaya mempertahankan kebesaran Sriwijaya bukan tanpa biaya. Ada luka, tangis, amarah, dan tak kalah ketinggalan, dendam. Dan, tak ada yang mengira, sebuah dendam bisa memorakmorandakan kesatuan terhebat di penjuru nusantara pada masa itu. Berhasilkah para pandaya Sriwijaya mempertahankan kembali kebesaran yang selalu dibanggakan para leluhur? Dalam 12 purnama, Balaputradewa mengucurkan darah 25.000 nyawa. Semua demi kebesaran sebuah nama: Sriwijaya.

*****

sampai saat ini masih menjadi novel terpanjang saya. konon tebalnya 470 halaman. walau ceritanya fiksi, namun semua data tentang sriwijaya termuat disini. saya harap gak terlalu mengecewakan. karena saya suka ceritanya...

Jumat, 14 Agustus 2009

Futatsu No Nagareboshi - Kisah 2 Bintang Jatuh



Sungguh, pernah kuceritakan pada kalian, sebuah kisah tentang sosok bermata iblis. Sosok yang selalu menaburkan ketakutan, kengerian, bahkan kematian, bagi siapapun yang melihatnya… Sosok yang cara matinya sungguh yang tak biasa… Sosok yang kesetiaannya tak pernah bisa terukur…
Dan ini adalah kisah, setelah kematian dirinya…

****

1
Anak dari Sang Iblis


Jauh dari Kastil Torigawa di Gifu, perempuan setengah baya itu, Sayaka Aoki, berjalan cepat-cepat. Ia menyincing kimono-nya ke atas, untuk mempermudah langkahnya. Gerakannya nyata sekali nampak terburu-buru dan sedikit berhati-hati. Matanya tak pernah lepas berpaling ke segala penjuru, mengamati sekitarnya. Sementara dibelakangnya, anaknya, seorang gadis 16 tahun, berjalan mengikuti langkahnya dengan kepala tertunduk.
“Cepatlah, Kana!” ujarnya dengan suara ditekan.
Gadis itu sama sekali tak menyahut. Ia hanya melebarkan langkahnya agar dapat terus berada tak jauh dari ibunya.
Saat itu langit memang masih nampak gelap. Matahari masih akan sangat lama untuk mulai menampakkan sinarnya. Kabut tebal masih menyelimuti seluruh setapak, membuat pandangan mata belum dapat menembus jauh ke depan.
Maka itulah sejak tadi perempuan itu nampak berjalan berhati-hati. Ia bisa saja terjatuh dalam kubangan yang banyak tersebar di sepanjang setapak. Namun sebenarnya, bukan sekedar untuk itu kehati-hatiannya. Yang lebih dikwatirkannya adalah ada orang-orang yang tak diharapkannya melihat… pelariannya ini!
Ya, pelarian! Ia terpaksa menggunakan kata itu, karena kini ia memang tengah mencoba meninggalkan kediamannya tanpa diketahui oleh siapa pun. Beberapa saat yang lalu, seorang prajurit suaminya, yang telah begitu lama dikenalnya, datang ke rumahnya saat puncak malam baru saja bergeser.
“Nyonya besar,” ia membungkuk dalam-dalam, “Tuan Sano Sakai telah dibunuh.”
Dan ia hanya bisa tertegun mendengar kalimat itu. Kejadian ini hanya berselang satu hari sejak pihak Keluarga Torigawa datang padanya untuk mengabarkan kematian suaminya, Shoja, karena luka parah saat duel.
Awalnya ia sama sekali tak percaya dengan berita itu. Suaminya adalah petarung yang tangguh. Sepanjang ia mengenalnya, tak pernah ia melihat suaminya terluka. Tapi ekspresi pembawa kabar itu kemudian harus membuatnya percaya.
Ya, saat itu ia memang harus percaya dan terluka.
Dan kini, hanya berselang sehari kemudian, saat hatinya masih diliputi duka yang dalam, kabar kematian Sano Sakai, salah seorang kaki tangan suaminya yang paling dipercaya, kembali terdengar olehnya. Sejak lama, ia mengenal Sano Sakai dengan baik. Dia merupakan satu-satunya anak buah suaminya yang paling kerap datang kerumahnya. Bahkan tak jarang ia melihat suaminya mengajari pemuda itu satu atau dua gerakan pertarungan.
Mengingat itu, satu pikiran mau tak mau segera saja berkelebat di otaknya.
Tentunya bila pemuda itu sampai juga di bunuh, tentunya telah terjadi pergeseran kekuasaan di kastil keluarga Torigawa yang begitu drastis.
“Nyonya besar,” suara prajurit itu menyadarkan kembali dari pikirannya. “Nampaknya Nyonya Besar…. harus segera pergi dari rumah ini, sekarang juga!”
Dan itulah yang kemudian dilakukan Sayaka Aoki. Ia tak bisa mempertimbangkan lebih lama lagi. Segera saja ia membangunkan putrinya, dan membawa beberapa helai pakaian dan uang yang tak seberapa.
Untungnya kabut sepertinya membantu pelarian diri keduanya. Beberapa kali, ia mencoba menoleh ke belakang. Bukan sekedar menunggu putrinya yang berjalan dibelakangnya, tapi juga untuk melihat rumah mereka yang semakin lama mulai tertelan kabut…
Sungguh, ini begitu menyesakkan. Rumah itu telah begitu lama menaungi dirinya suaminya juga Kana. Semua kenangannya ada disitu, dan kini ia harus ditinggalkan begitu saja…
Setitik air matanya jatuh. Namun ia buru-buru menyapunya dengan punggung tangannya. Saat itulah, dari tempatnya berdiri, sudah dilihatnya samar-samar sebuah kereta kuda di ujung setapak.
Sayaka Aoki bernapas lega. Segera ia menarik tangan putrinya, “Cepatlah!” ujarnya.
Kemudian kedua perempuan itu segera naik ke dalam kereta kuda itu.
Prajurit yang tadi mengabari tentang kematian Sano Ryu sudha nampak menunggunya.
“Kita pergi sekarang, Nyonya Besar?” tanyanya sambil menoleh.
Sayaka Aoki hanya mengangguk pelan.
Dan bunyi tapak kuda kemudian mengisi keheningan.
Di dalam kereta, Sayaka Aoki segera melempar pandangannya ke belakang, mencoba melihat lagi rumah miliknya. Tapi ia hanya menemukan setapak berkabut yang semakin terasa menebal.
Matanya kembali berkaca-kaca. Ia ingin kembali menangis, namun melihat putrinya yang juga tengah menatap ke arah yang sama, ia menguatkan hatinya.
Dibiarkannya kereta semakin meninggalkan desa mereka dalam keheningan. Sedkit, walau tadi ia kecewa terhadap kabut yang sudah menghalangi pandangannya pada rumahnya, namun di sisi yang lain, ia tetap merasa berterimakasih karena kabut karena telah membantunya dalam pelarian ini. Ini membuatnya merasa tenang.
Namun di tengah perasaan seperti itu, baru disadarinya kalau putrinya yang sejak tadi duduk dihadapannya, masih saja terus memunggungi dirinya untuk menatap ke arah belakang kereta.
Sayaka Aoki sebenarnya ingin mencoba berkata sesuatu, membuka percakapan, namun ia segera mengurungkan niatnya ketika tanpa sengaja dari arah tempatnya duduk, sekilas dilihatnya sesuatu yang aneh di mata Kana.
“Kana,” segera ia memegang pipi anaknya. Dengan sedikit memaksa, dibawanya wajah anaknya itu tepat didepannya.
“Kenapa… dengan matamu?” ia memandang tak percaya pada kedua mata anaknya yang kini nampak sangat memerah.
Namun ia tak bisa mengamati lebih lama. Tanpa menjawab pertanyaan itu, Kana sudah menepis pegangan tangannya, dan kembali membalikkan tubuhnya ke belakang.
Sayaka Aoki hanya bisa membiarkannya dengan perasaan tak tentu. Sungguh, ini… begitu menyakitkan hatinya. Ia tahu sejak berita kematian suaminya datang, Kana juga mendengarnya bersamanya. Saat itu, ia sama sekali tak menahan kesedihannya. Ia terpuruk dan menangis. Namun tidak demikian dengan Kana. Walau matanya nampak jelas berkaca, tapi ia tak menangis, setidaknya… ia berusaha keras untuk tak menangis. Ia hanya beranjak meninggalkan ruangan dan menuju kamarnya.
Sayaka Aoki tak tahu, apakah disitu, di dalam keheningan kamarnya sendiri, anaknya itu melepas tangisnya? Ia tahu sekali seberapa dekat hubungan anaknya itu dengan suaminya. Ia yakin berita ini pastilah begitu dalam melukai hatinya, hingga ia yakin anaknya itu pastilah menangis.
Jadi apa ini yang kemudian membuat matanya menjadi semerah itu?
Sayaka Aoki hanya bisa menggeleng tak yakin.
Namun sungguh, mata yang memerah itu, begitu mengingatkannya pada mata suaminya…

*****

Ini adalah lanjutan novel Samurai Cahaya. Kisah lanjutan 2 bintang jatuh yang tersisa, Sano Ryu dan Yokushimaru Toshi.
Cukup lama saya membuat novel ini, karena sempat terhenti membuat novel lain. Cover novel ini dibuat oleh Mas Yogi dan editannya oleh dilakukan Mas Jody. Semoga tak mengecewakan...

Sabtu, 24 Januari 2009

Perjalanan Menuju Cahaya



"Nanti, bila tiba waktunya, pandanglah langit saat malam tercerah… Kau akan temukan satu cahaya, yang paling berkilau diantara cahaya yang lain… Mungkin itu adalah cahaya milikmu, arah perjalananmu… “


Ucapan Opa Mora inilah yang kemudian mengantar Duara Dethan melakukan perjalanan panjang untuk membuktikan semua cerita Opa Mora, yang selama ini hanya dianggapnya dongeng masa kecilnya…
Awalnya ia menuju Kofa, tanah yang dulu pernah menjadi tanah terindah diantara tanah tergersang. Lalu ia menuju Lamalera untuk mengunjungi seorang lama fa, atau pemburu paus, yang memiliki kemampuan mengundang paus dengan suaranya. Ia juga menuju Teluk Bapuara mencari manusia ikan diantara bangkai kapal karam peninggalan Portugis. Kemudian berlanjut ke So'e, tanah para tiku, perampok berkuda, tempat Opa Mora memendam cinta yang tak pernah diketahui sebelumnya. Lalu ke Manufui, tempat sirkus Para Hantu melakukan pertunjukan, dan juga tempat pertemuannya dengan sosok istimewa Kanna Edo. Dan terakhir, ia mengunjungi Atambua, dimana terdapat pohon yang konon pada masa dulu, dapat mengabulkan hujan…
Semuanya merupakan perjalanan yang begitu mirip dengan perjalanan yang dilakukan Opa Mora hampir 40 tahun yang lalu. Sungguh, awalnya Duara Dethan tak terlalu berharap banyak membuktikan semua perjalanan itu, namun yang terjadi adalah sebuah petualangan panjang yang tak pernah dibayangkan sebelumnya…
*****
Ini merupakan buku ke 21 saya. Buku yang saya pikir bakal jadi buku saya yang paling istimewa. karena saya menulis ini memang sengaja untuk mengenang tempat dimana saya remaja, Kupang, NTT. Novel ini juga merupakan novel pemenang ketiga Sayembara Menulis Novel Inspirasi Penerbit ANDI Jogjakarta
*****

Kisah yang tidak hanya mengantar kita menuju cahaya,
melainkan juga pada pengembaraan yang menakjubkan…
Sanie B. Kuncoro, penulis novel Kekasih Gelap