Sungguh, pernah kuceritakan pada kalian, sebuah kisah tentang sosok bermata iblis. Sosok yang selalu menaburkan ketakutan, kengerian, bahkan kematian, bagi siapapun yang melihatnya… Sosok yang cara matinya sungguh yang tak biasa… Sosok yang kesetiaannya tak pernah bisa terukur…
Dan ini adalah kisah, setelah kematian dirinya…
****
1
Anak dari Sang Iblis
Jauh dari Kastil Torigawa di Gifu, perempuan setengah baya itu, Sayaka Aoki, berjalan cepat-cepat. Ia menyincing kimono-nya ke atas, untuk mempermudah langkahnya. Gerakannya nyata sekali nampak terburu-buru dan sedikit berhati-hati. Matanya tak pernah lepas berpaling ke segala penjuru, mengamati sekitarnya. Sementara dibelakangnya, anaknya, seorang gadis 16 tahun, berjalan mengikuti langkahnya dengan kepala tertunduk.
“Cepatlah, Kana!” ujarnya dengan suara ditekan.
Gadis itu sama sekali tak menyahut. Ia hanya melebarkan langkahnya agar dapat terus berada tak jauh dari ibunya.
Saat itu langit memang masih nampak gelap. Matahari masih akan sangat lama untuk mulai menampakkan sinarnya. Kabut tebal masih menyelimuti seluruh setapak, membuat pandangan mata belum dapat menembus jauh ke depan.
Maka itulah sejak tadi perempuan itu nampak berjalan berhati-hati. Ia bisa saja terjatuh dalam kubangan yang banyak tersebar di sepanjang setapak. Namun sebenarnya, bukan sekedar untuk itu kehati-hatiannya. Yang lebih dikwatirkannya adalah ada orang-orang yang tak diharapkannya melihat… pelariannya ini!
Ya, pelarian! Ia terpaksa menggunakan kata itu, karena kini ia memang tengah mencoba meninggalkan kediamannya tanpa diketahui oleh siapa pun. Beberapa saat yang lalu, seorang prajurit suaminya, yang telah begitu lama dikenalnya, datang ke rumahnya saat puncak malam baru saja bergeser.
“Nyonya besar,” ia membungkuk dalam-dalam, “Tuan Sano Sakai telah dibunuh.”
Dan ia hanya bisa tertegun mendengar kalimat itu. Kejadian ini hanya berselang satu hari sejak pihak Keluarga Torigawa datang padanya untuk mengabarkan kematian suaminya, Shoja, karena luka parah saat duel.
Awalnya ia sama sekali tak percaya dengan berita itu. Suaminya adalah petarung yang tangguh. Sepanjang ia mengenalnya, tak pernah ia melihat suaminya terluka. Tapi ekspresi pembawa kabar itu kemudian harus membuatnya percaya.
Ya, saat itu ia memang harus percaya dan terluka.
Dan kini, hanya berselang sehari kemudian, saat hatinya masih diliputi duka yang dalam, kabar kematian Sano Sakai, salah seorang kaki tangan suaminya yang paling dipercaya, kembali terdengar olehnya. Sejak lama, ia mengenal Sano Sakai dengan baik. Dia merupakan satu-satunya anak buah suaminya yang paling kerap datang kerumahnya. Bahkan tak jarang ia melihat suaminya mengajari pemuda itu satu atau dua gerakan pertarungan.
Mengingat itu, satu pikiran mau tak mau segera saja berkelebat di otaknya.
Tentunya bila pemuda itu sampai juga di bunuh, tentunya telah terjadi pergeseran kekuasaan di kastil keluarga Torigawa yang begitu drastis.
“Nyonya besar,” suara prajurit itu menyadarkan kembali dari pikirannya. “Nampaknya Nyonya Besar…. harus segera pergi dari rumah ini, sekarang juga!”
Dan itulah yang kemudian dilakukan Sayaka Aoki. Ia tak bisa mempertimbangkan lebih lama lagi. Segera saja ia membangunkan putrinya, dan membawa beberapa helai pakaian dan uang yang tak seberapa.
Untungnya kabut sepertinya membantu pelarian diri keduanya. Beberapa kali, ia mencoba menoleh ke belakang. Bukan sekedar menunggu putrinya yang berjalan dibelakangnya, tapi juga untuk melihat rumah mereka yang semakin lama mulai tertelan kabut…
Sungguh, ini begitu menyesakkan. Rumah itu telah begitu lama menaungi dirinya suaminya juga Kana. Semua kenangannya ada disitu, dan kini ia harus ditinggalkan begitu saja…
Setitik air matanya jatuh. Namun ia buru-buru menyapunya dengan punggung tangannya. Saat itulah, dari tempatnya berdiri, sudah dilihatnya samar-samar sebuah kereta kuda di ujung setapak.
Sayaka Aoki bernapas lega. Segera ia menarik tangan putrinya, “Cepatlah!” ujarnya.
Kemudian kedua perempuan itu segera naik ke dalam kereta kuda itu.
Prajurit yang tadi mengabari tentang kematian Sano Ryu sudha nampak menunggunya.
“Kita pergi sekarang, Nyonya Besar?” tanyanya sambil menoleh.
Sayaka Aoki hanya mengangguk pelan.
Dan bunyi tapak kuda kemudian mengisi keheningan.
Di dalam kereta, Sayaka Aoki segera melempar pandangannya ke belakang, mencoba melihat lagi rumah miliknya. Tapi ia hanya menemukan setapak berkabut yang semakin terasa menebal.
Matanya kembali berkaca-kaca. Ia ingin kembali menangis, namun melihat putrinya yang juga tengah menatap ke arah yang sama, ia menguatkan hatinya.
Dibiarkannya kereta semakin meninggalkan desa mereka dalam keheningan. Sedkit, walau tadi ia kecewa terhadap kabut yang sudah menghalangi pandangannya pada rumahnya, namun di sisi yang lain, ia tetap merasa berterimakasih karena kabut karena telah membantunya dalam pelarian ini. Ini membuatnya merasa tenang.
Namun di tengah perasaan seperti itu, baru disadarinya kalau putrinya yang sejak tadi duduk dihadapannya, masih saja terus memunggungi dirinya untuk menatap ke arah belakang kereta.
Sayaka Aoki sebenarnya ingin mencoba berkata sesuatu, membuka percakapan, namun ia segera mengurungkan niatnya ketika tanpa sengaja dari arah tempatnya duduk, sekilas dilihatnya sesuatu yang aneh di mata Kana.
“Kana,” segera ia memegang pipi anaknya. Dengan sedikit memaksa, dibawanya wajah anaknya itu tepat didepannya.
“Kenapa… dengan matamu?” ia memandang tak percaya pada kedua mata anaknya yang kini nampak sangat memerah.
Namun ia tak bisa mengamati lebih lama. Tanpa menjawab pertanyaan itu, Kana sudah menepis pegangan tangannya, dan kembali membalikkan tubuhnya ke belakang.
Sayaka Aoki hanya bisa membiarkannya dengan perasaan tak tentu. Sungguh, ini… begitu menyakitkan hatinya. Ia tahu sejak berita kematian suaminya datang, Kana juga mendengarnya bersamanya. Saat itu, ia sama sekali tak menahan kesedihannya. Ia terpuruk dan menangis. Namun tidak demikian dengan Kana. Walau matanya nampak jelas berkaca, tapi ia tak menangis, setidaknya… ia berusaha keras untuk tak menangis. Ia hanya beranjak meninggalkan ruangan dan menuju kamarnya.
Sayaka Aoki tak tahu, apakah disitu, di dalam keheningan kamarnya sendiri, anaknya itu melepas tangisnya? Ia tahu sekali seberapa dekat hubungan anaknya itu dengan suaminya. Ia yakin berita ini pastilah begitu dalam melukai hatinya, hingga ia yakin anaknya itu pastilah menangis.
Jadi apa ini yang kemudian membuat matanya menjadi semerah itu?
Sayaka Aoki hanya bisa menggeleng tak yakin.
Namun sungguh, mata yang memerah itu, begitu mengingatkannya pada mata suaminya…
*****
Ini adalah lanjutan novel Samurai Cahaya. Kisah lanjutan 2 bintang jatuh yang tersisa, Sano Ryu dan Yokushimaru Toshi.
Cukup lama saya membuat novel ini, karena sempat terhenti membuat novel lain. Cover novel ini dibuat oleh Mas Yogi dan editannya oleh dilakukan Mas Jody. Semoga tak mengecewakan...